Masyarakat Ekonomi Asia (Free Flow of Skilled Workers)Berdasarkan Global Competitiveness Report kawasan Asia keterampilan tenaga kerja di Indonesia ada di peringkat ke-54 sedikit lebih unggul dari Filipina dan Kamboja, namun masih jauh tertinggal dengan negara tetangga lainnya seperti singapura di posisi puncak dan malaysia di peringkat ke-35. Balai Pelatihan Tenaga Kerja (BPTK) di Indonesia saat ini sedang berusaha meningkatkan kinerjanya. Lembaga ini sangat berperan penting dalam mencetak tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha saat ini. Mereka menilai saat ini diperlukan penyesuaian kembali antara kompetensi - kompetensi yang telah dibuat dengan keterampilan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh dunia usaha di era Free Trade Area saat ini. Dari data yang ada, setidaknya diketahui bahwa tenaga kerja yang cakap di Indonesia hanya sekitar 4% dari setiap 1000 orang. Selain itu BPTK juga akan meninjau ulang keefektifan UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan di Indonesia pada saat Rapimnas Kadin Indonesia di Makasar beberapa pekan kedepan.
Di tanah air, tingginya angka pengangguran masih menjadi monster ekonomi yang menakutkan. Monster ekonomi ini menjadi mimpi buruk bagi siapa saja, tanpa melihat apakah seseorang itu menempuh jalur pendidikan formal atau tidak.
Kamis, 31 Maret 2011
Sabtu, 12 Maret 2011
Peta Perekonomian Indonesia di Pulau Sumatera
Tugas 3
Tanaman kelapa sawit saat ini menjadi primadona yang dianggap mampu menghapus kemiskinan rakyat. Tanaman yang sering disebut sebagai tanaman 'emas hijau' ini sangat menguntungkan bagi siapa saja yang menanamnya. Tanaman yang benihnya berasal Afrika Barat ini pertama kali masuk di Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tepatnya pada tahun 1848. Elaeis (kelapa sawit)yang habitat aslinya di semak belukar ini hanya dapat tumbuh subur di daerah tropis dengan ketinggian 0-500m dari permukaan laut, serta adanya ketersediaan air yang cukup.
Saat ini Indonesia mampu menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia yang menyumbang 47% dari total produksi minyak kelapa sawit global yang mencapai 46 juta ton per tahunnya(data World Oil 2010). Organisasi Internasional yang terbentuk pada tahun 2003, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) juga telah mengeluarkan sertifikasi perkebunan kelapa sawit di lima daerah, yaitu Semenanjung Malaysia, Sabah (Malaysia), Sumatera (Indonesia), Kalimantan (Indonesia), dan Papua Nugini. Di Indonesia saat ini total keseluruhan lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 7,9 juta ha dari total luas lahan kelapa sawit global sekitar 12 juta ha (data Sawit Watch). Di Indonesia perkebunan kelapa sawit terbesar ada di pulau Sumatera. Pulau Sumatera sudah dikenal lama sebagai salah satu sentra produksi minyak kelapa sawit/Crude Palm Oil (CPO) di dunia Internasional. Dari pulau inilah sejarah pembudidayaan kelapa sawit secara komersial yang usianya sekarang mencapai satu abad (1911-2011) berasal.
Awalnya komoditas andalan yang mampu mendatangkan devisa yang mencapai 14,1 miliar dolar AS per tahun ini ditanam di Kebun Raya Bogor, dan disepanjang jalan raya di Deli, Sumatera Utara hanya sebagai tanaman hias. Baru kemudian pada tahun 1911 pengusaha asal Belgia Adrien Hallet dan K Schadt merintis usaha budidaya sawit secara komersial di Hindia Belanda. Tanaman kelapa sawit untuk tujuan komersial pertama kali ini menggunakan benih 'Deli Dura'. Benih hasil seleksi tumbuhan dari Bogor dan Deli itu berhasil tumbuh di pantai timur sumatera (Deli), Aceh, dan di Malaya (sekarang Malaysia), kemudian disebar di berbagai daerah lainnya. Pada masa itu penduduk pribumi banyak yang menjadi buruh di perkebunan-perkebunan sawit milik para pengusaha sawit asing yang luasnya saat itu mencapai 5.123 ha. Sekarang tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel) ini 65% nya dikuasai korporasi sisanya 35% dikelola masyarakat.
Tanaman kelapa sawit saat ini menjadi primadona yang dianggap mampu menghapus kemiskinan rakyat. Tanaman yang sering disebut sebagai tanaman 'emas hijau' ini sangat menguntungkan bagi siapa saja yang menanamnya. Tanaman yang benihnya berasal Afrika Barat ini pertama kali masuk di Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tepatnya pada tahun 1848. Elaeis (kelapa sawit)yang habitat aslinya di semak belukar ini hanya dapat tumbuh subur di daerah tropis dengan ketinggian 0-500m dari permukaan laut, serta adanya ketersediaan air yang cukup.
Saat ini Indonesia mampu menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia yang menyumbang 47% dari total produksi minyak kelapa sawit global yang mencapai 46 juta ton per tahunnya(data World Oil 2010). Organisasi Internasional yang terbentuk pada tahun 2003, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) juga telah mengeluarkan sertifikasi perkebunan kelapa sawit di lima daerah, yaitu Semenanjung Malaysia, Sabah (Malaysia), Sumatera (Indonesia), Kalimantan (Indonesia), dan Papua Nugini. Di Indonesia saat ini total keseluruhan lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 7,9 juta ha dari total luas lahan kelapa sawit global sekitar 12 juta ha (data Sawit Watch). Di Indonesia perkebunan kelapa sawit terbesar ada di pulau Sumatera. Pulau Sumatera sudah dikenal lama sebagai salah satu sentra produksi minyak kelapa sawit/Crude Palm Oil (CPO) di dunia Internasional. Dari pulau inilah sejarah pembudidayaan kelapa sawit secara komersial yang usianya sekarang mencapai satu abad (1911-2011) berasal.
Awalnya komoditas andalan yang mampu mendatangkan devisa yang mencapai 14,1 miliar dolar AS per tahun ini ditanam di Kebun Raya Bogor, dan disepanjang jalan raya di Deli, Sumatera Utara hanya sebagai tanaman hias. Baru kemudian pada tahun 1911 pengusaha asal Belgia Adrien Hallet dan K Schadt merintis usaha budidaya sawit secara komersial di Hindia Belanda. Tanaman kelapa sawit untuk tujuan komersial pertama kali ini menggunakan benih 'Deli Dura'. Benih hasil seleksi tumbuhan dari Bogor dan Deli itu berhasil tumbuh di pantai timur sumatera (Deli), Aceh, dan di Malaya (sekarang Malaysia), kemudian disebar di berbagai daerah lainnya. Pada masa itu penduduk pribumi banyak yang menjadi buruh di perkebunan-perkebunan sawit milik para pengusaha sawit asing yang luasnya saat itu mencapai 5.123 ha. Sekarang tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel) ini 65% nya dikuasai korporasi sisanya 35% dikelola masyarakat.
Strategi dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia di Masa Depan
Tugas 2
Indonesia seakan masih trauma terhadap krisis keuangan Asia yang pernah terjadi pada tahun 1998. 'Flu Asia' tersebut memang sebelumnya tidak pernah diperkirakan akan menyerang Indonesia. Pasalnya Indonesia kala itu telah berhasil mencatatkan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% setahun selama tiga dasawarsa. Krisis ekonomi 1998 ini awalnya dipicu dari krisis nilai tukar bath (devaluasi) di Thailand pada 2 Juli 1997, kemudian dengan cepat berkembang pada 1998 menjadi krisis ekonomi, krisis sosial, dan krisis politik di tanah air. Indonesia tidak sendiri. Krisis keuangan 1997 juga melanda sebagian negara Asia lainnya seperti: Thailand, Malaysia, Singapura, Philipina, dan Korea Selatan.
Pasca krisis, Indonesia terus melakukan berbagai upaya di berbagai bidang untuk kembali menjadi macan Asia Tenggara abad 21. Usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberikan kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia menjadi prioritas saat ini. Strategi dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia untuk mencapai tujuan itu disusun dengan mengadopsi Deklarasi Milenium yang kemudian dijabarkan dalam kerangka praktis Tujuan Pembangunan Milenium. Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) ini berawal dari inisiatif global negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebanyak 189 negara anggota PBB telah sepakat untuk mengadopsi MDGs yang diisukan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada September 2000.
Adapun Millennium Development Goals (MDGs) yang menjadi target pertumbuhan ekonomi global dan yang juga diadopsi oleh Indonesia dalam menyusun Strategi dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi di Masa Depan adalah:
MDG 1: Menangulangi Kemiskinan dan Kelaparan
MDG 2: Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua
MDG 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
MDG 4: Menurunkan Angka Kematian Anak
MDG 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu
MDG 6: Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya
MDG 7: Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup
MDG 8: Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan
Indonesia seakan masih trauma terhadap krisis keuangan Asia yang pernah terjadi pada tahun 1998. 'Flu Asia' tersebut memang sebelumnya tidak pernah diperkirakan akan menyerang Indonesia. Pasalnya Indonesia kala itu telah berhasil mencatatkan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% setahun selama tiga dasawarsa. Krisis ekonomi 1998 ini awalnya dipicu dari krisis nilai tukar bath (devaluasi) di Thailand pada 2 Juli 1997, kemudian dengan cepat berkembang pada 1998 menjadi krisis ekonomi, krisis sosial, dan krisis politik di tanah air. Indonesia tidak sendiri. Krisis keuangan 1997 juga melanda sebagian negara Asia lainnya seperti: Thailand, Malaysia, Singapura, Philipina, dan Korea Selatan.
Pasca krisis, Indonesia terus melakukan berbagai upaya di berbagai bidang untuk kembali menjadi macan Asia Tenggara abad 21. Usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberikan kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia menjadi prioritas saat ini. Strategi dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia untuk mencapai tujuan itu disusun dengan mengadopsi Deklarasi Milenium yang kemudian dijabarkan dalam kerangka praktis Tujuan Pembangunan Milenium. Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) ini berawal dari inisiatif global negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebanyak 189 negara anggota PBB telah sepakat untuk mengadopsi MDGs yang diisukan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada September 2000.
Adapun Millennium Development Goals (MDGs) yang menjadi target pertumbuhan ekonomi global dan yang juga diadopsi oleh Indonesia dalam menyusun Strategi dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi di Masa Depan adalah:
MDG 1: Menangulangi Kemiskinan dan Kelaparan
MDG 2: Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua
MDG 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
MDG 4: Menurunkan Angka Kematian Anak
MDG 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu
MDG 6: Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya
MDG 7: Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup
MDG 8: Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan
Sejarah Perekonomian Indonesia
Tugas 1
Indonesia memiliki catatan dan pengalaman sejarah yang cukup panjang dan menarik dalam menjalankan roda perekonomiannya. Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Eropa) dan dua samudra (Pasifik dan Hindia)- sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran antar benua- telah menjalin hubungan dagang dengan India, Tiongkok, dan daerah-daerah di barat (kekaisaran Romawi) sejak abad pertama sesudah masehi. Secara garis besar perekonomian Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan (orde lama, orde baru, dan orde reformasi).
A. SEBELUM KEMERDEKAAN
Pada masa ini, roda perekonomian Indonesia dikendalikan oleh para bangsawan, kerajaan-kerajaan lokal, dan para penjajah (Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang). Namun, pengaruh yang ditinggalkan Belanda yang telah menjajah Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia pada masa itu) selama 350 tahun sangat dalam. Negeri kincir angin itu juga telah menerapkan berbagai sistem yang masih dipakai hingga saat ini. Beberapa kebijakan yang mereka berlakukan untuk Hindia Belanda diantaranya dengan membentuk Serikat Dagang Belanda VOC, Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), dan Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal). VOC pada masa kejayaannya 1602-1799 telah menjadi penguasa Hindia Belanda dalam hal memonopoli komoditi-komoditi ekspor unggulan seperti, rempah-rempah, kopi, dan cengkeh. Belanda juga melakukan ekspor perak ke Hindia Belanda sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870-an. Akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC, sementara pasokan perak terganggu akibat adanya blokade Inggris di Eropa maka jatuhlah kekuasaan Belanda ke tangan Inggris atas Hindia Belanda. Pada saat itu juga terjadi krisis finansial di tubuh VOC, VOC bubar dan republik bataaf yang mengambil alih kekuasaan dari VOC juga belum sempat berbenah.
Inggris yang mengambil alih kekuasaan atas Hindia Belanda pada 1811-1816 mulai menerapkan sistem baru menggantikan sistem pajak hasil bumi(contigenten), yaitu Landrent (pajak tanah) yang telah berhasil diterapkan di India. Namun perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, malah mengalami kegagalan sebelum akhirnya Inggris meninggalkan Hindia Belanda. Seiring dengan keberhasilan Belanda merebut kembali kekuasaan atas Hindia Belanda dari tangan Inggris, Belanda menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1836. Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Masyarakat pribumi sangat tersiksa dengan sistem yang baru diterapkan pemerintah Belanda ini. Namun segi positifnya adalah mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Pemerintah Belanda berhasil menerapkan sistem barunya ini, masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka bawa masuk ke Hindia Belanda. Hal inilah yang merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
B. SETELAH KEMERDEKAAN
ORDE LAMA
Pasca kemerdekaan, Indonesia mulai menggerakkan roda perekonomiannya sendiri. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno yang lebih dikenal dengan sebutan orde lama pembangunan ekonomi Indonesia dapat dibagi mejadi;
1. masa pasca kemerdekaan (1945-1950)
2. masa demokrasi liberal (1950-1957)
3. masa demokrasi terpimpin (1959-1967)
Pada masa pasca kemerdekaan, pembangunan sistem ekonomi Indonesia banyak mengalami jatuh bangun. Pemerintah pada saat itu dihadapkan pada masalah tingkat inflasi yang tinggi, pintu perdagangan luar negeri RI yang ditutup oleh Belanda, kas negara yang kosong, dan eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan. Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah untuk keluar dari keterpurukan ekonomi di tanah air, seperti menyerahkan perekonomian Indonesia pada pasar, inilah yang menandai dimulainya masa demokrasi liberal. Kenyataannya, sistem ekonomi liberal ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Akhirnya setelah dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959, sistem ekonomi liberal diganti dengan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia yang menjurus pada sistem etatisme (segala-galanhya diatur oleh pemerintah). Namun, kembali Indonesia menemui kegagalan dimana tingkat inflasi yang tinggi akibat kegagalan kontrol pasca devaluasi. Selain itu pemerintah juga tidak menghemat pengeluaran-pengeluaranya, banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, serta adanya politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.
ORDE BARU
Pada masa ini, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara, dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pemerintah Indonesia orde baru juga belajar dari pengalaman masa lalu, dimana sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi terpimipin tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi baru, yaitu sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Dari sistem ekonomi yang baru inilah kemudian pemerintah menyusun kebijakan ekonominya yang diarahkan pada pembangunan di segala bidang, yang tercemin dalam 8 jalur pemerataan yaitu;
1. Kebutuhan pokok
2. Pendidikan dan kesehatan
3. Pembagian pendapatan
4. Kesempatan kerja
5. Kesempatan berusaha
6. Partisipasi wanita dan pemuda
7. Penyebaran pembangunan
8. Peradilan
Semua kebijakan ini dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Dampak positif dari sistem ekonomi campuran di orde baru ini antara lain, seperti;
1. Berhasil swasembada beras
2. Penurunan angka kemiskinan
3. Perbaikan indikator kesejahteraan rakyat
(angka partisipasi pendidikan, penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi)
4. Berhasil menyelenggarakan preventive check
(program KB, usia minimum orang yang akan menikah)
Sedangkan dampak negatifnya, seperti;
1. Pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam
2. Perbedaan ekonomi antar golongan yang tajam
3. Penumpukan hutang luar negeri
4. Timbulnya konglomerasi pembangunan, korupsi, kolusi, dan nepotisme
ORDE REFORMASI
Pada awal orde reformasi pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih diutamakan untuk stabilitas politik, ketimbang mengatasi masalah ekonomi yang diwariskan orde baru, antara lain; KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), pemulihan ekonomi, buruknya kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
Indonesia memiliki catatan dan pengalaman sejarah yang cukup panjang dan menarik dalam menjalankan roda perekonomiannya. Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Eropa) dan dua samudra (Pasifik dan Hindia)- sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran antar benua- telah menjalin hubungan dagang dengan India, Tiongkok, dan daerah-daerah di barat (kekaisaran Romawi) sejak abad pertama sesudah masehi. Secara garis besar perekonomian Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan (orde lama, orde baru, dan orde reformasi).
A. SEBELUM KEMERDEKAAN
Pada masa ini, roda perekonomian Indonesia dikendalikan oleh para bangsawan, kerajaan-kerajaan lokal, dan para penjajah (Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang). Namun, pengaruh yang ditinggalkan Belanda yang telah menjajah Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia pada masa itu) selama 350 tahun sangat dalam. Negeri kincir angin itu juga telah menerapkan berbagai sistem yang masih dipakai hingga saat ini. Beberapa kebijakan yang mereka berlakukan untuk Hindia Belanda diantaranya dengan membentuk Serikat Dagang Belanda VOC, Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), dan Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal). VOC pada masa kejayaannya 1602-1799 telah menjadi penguasa Hindia Belanda dalam hal memonopoli komoditi-komoditi ekspor unggulan seperti, rempah-rempah, kopi, dan cengkeh. Belanda juga melakukan ekspor perak ke Hindia Belanda sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870-an. Akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC, sementara pasokan perak terganggu akibat adanya blokade Inggris di Eropa maka jatuhlah kekuasaan Belanda ke tangan Inggris atas Hindia Belanda. Pada saat itu juga terjadi krisis finansial di tubuh VOC, VOC bubar dan republik bataaf yang mengambil alih kekuasaan dari VOC juga belum sempat berbenah.
Inggris yang mengambil alih kekuasaan atas Hindia Belanda pada 1811-1816 mulai menerapkan sistem baru menggantikan sistem pajak hasil bumi(contigenten), yaitu Landrent (pajak tanah) yang telah berhasil diterapkan di India. Namun perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, malah mengalami kegagalan sebelum akhirnya Inggris meninggalkan Hindia Belanda. Seiring dengan keberhasilan Belanda merebut kembali kekuasaan atas Hindia Belanda dari tangan Inggris, Belanda menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1836. Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Masyarakat pribumi sangat tersiksa dengan sistem yang baru diterapkan pemerintah Belanda ini. Namun segi positifnya adalah mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Pemerintah Belanda berhasil menerapkan sistem barunya ini, masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka bawa masuk ke Hindia Belanda. Hal inilah yang merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
B. SETELAH KEMERDEKAAN
ORDE LAMA
Pasca kemerdekaan, Indonesia mulai menggerakkan roda perekonomiannya sendiri. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno yang lebih dikenal dengan sebutan orde lama pembangunan ekonomi Indonesia dapat dibagi mejadi;
1. masa pasca kemerdekaan (1945-1950)
2. masa demokrasi liberal (1950-1957)
3. masa demokrasi terpimpin (1959-1967)
Pada masa pasca kemerdekaan, pembangunan sistem ekonomi Indonesia banyak mengalami jatuh bangun. Pemerintah pada saat itu dihadapkan pada masalah tingkat inflasi yang tinggi, pintu perdagangan luar negeri RI yang ditutup oleh Belanda, kas negara yang kosong, dan eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan. Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah untuk keluar dari keterpurukan ekonomi di tanah air, seperti menyerahkan perekonomian Indonesia pada pasar, inilah yang menandai dimulainya masa demokrasi liberal. Kenyataannya, sistem ekonomi liberal ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Akhirnya setelah dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959, sistem ekonomi liberal diganti dengan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia yang menjurus pada sistem etatisme (segala-galanhya diatur oleh pemerintah). Namun, kembali Indonesia menemui kegagalan dimana tingkat inflasi yang tinggi akibat kegagalan kontrol pasca devaluasi. Selain itu pemerintah juga tidak menghemat pengeluaran-pengeluaranya, banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, serta adanya politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.
ORDE BARU
Pada masa ini, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara, dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pemerintah Indonesia orde baru juga belajar dari pengalaman masa lalu, dimana sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi terpimipin tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi baru, yaitu sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Dari sistem ekonomi yang baru inilah kemudian pemerintah menyusun kebijakan ekonominya yang diarahkan pada pembangunan di segala bidang, yang tercemin dalam 8 jalur pemerataan yaitu;
1. Kebutuhan pokok
2. Pendidikan dan kesehatan
3. Pembagian pendapatan
4. Kesempatan kerja
5. Kesempatan berusaha
6. Partisipasi wanita dan pemuda
7. Penyebaran pembangunan
8. Peradilan
Semua kebijakan ini dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Dampak positif dari sistem ekonomi campuran di orde baru ini antara lain, seperti;
1. Berhasil swasembada beras
2. Penurunan angka kemiskinan
3. Perbaikan indikator kesejahteraan rakyat
(angka partisipasi pendidikan, penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi)
4. Berhasil menyelenggarakan preventive check
(program KB, usia minimum orang yang akan menikah)
Sedangkan dampak negatifnya, seperti;
1. Pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam
2. Perbedaan ekonomi antar golongan yang tajam
3. Penumpukan hutang luar negeri
4. Timbulnya konglomerasi pembangunan, korupsi, kolusi, dan nepotisme
ORDE REFORMASI
Pada awal orde reformasi pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih diutamakan untuk stabilitas politik, ketimbang mengatasi masalah ekonomi yang diwariskan orde baru, antara lain; KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), pemulihan ekonomi, buruknya kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
Sabtu, 05 Maret 2011
Tanpa Intervensi Pemerintah Valas Melimpah, Rupiah Menguat, Ekspor Lesu
Kepercayaan asing untuk berinvestasi di Indonesia terus meningkat. Hal ini dapat dilihat dari masih derasnya arus modal masuk (capital inflow) ke Indonesia pada 2011 sejak kuartal II 2009. Deras nya capital inflow berdampak pada penguatan kurs rupiah yang secara fundamental dapat mencapai Rp. 8.500,00 per dolar As jika tanpa intervensi(campur tangan pemerintah). Sebelumnya sepanjang tahun 2010 pemerintah melakukan intervensi dalam rangka menjaga agar nilai tukar rupiah di level 9.000 an per dolar As, guna menjaga daya saing Indonesia tetap kuat, terutama daya saing produk ekspor. Intervensi yang dilakukan pemerintah melalui BI dengan cara menyerap akses likuiditas valas yang dipicu capital inflow. Akibatnya, cadangan devisa Indonesia melejit dari US$66,1 milyar per akhir 2009 ke US$ 96,2 milyar per akhir 2010 dan telah menembus US$ 100 milyar per akhir Februari 2011. Namun intervensi yang dilakukan pemerintah bukan tanpa biaya bagi BI. Anggota komisi XI DPR, Kemal Stamboel menjelaskan ongkos pengendalian moneter menjadi beban terbesar pengeluaran BI. Selain itu, juga ada biaya kerugian kurs akibat intervensi stabilisasi nilai tukar. Biaya operasi moneter BI juga terus meningkat dari sekitar Rp 17 T pada 2005 menjadi Rp 25 T pada 2009 dan diperkirakan mencapai Rp 30 T pada 2010.
Ketua Tim Outlook Jangka Pendek dan Diseminasi Kebijakan Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indoneis (BI), Endy Dwi Tjahyono di Padalarang, Jawa Barat, beberapa pekan lalu mengatakan, "Capital Inflow adalah salah satu risiko perekonomian Indonesia". Endy menambahkan BI akan menggunakan instrumen nilai tukar rupiah dibiarkan menguat (hadapi capital inflow). Oleh karena itu, tahun ini BI tidak akan menjaga terus rupiah di level 9.000 an per dolar As. Jika terus dijaga, capital inflow justru akan terus masuk karena imbal hasil yang menarik, mengingat BI harus membayar bunga di kisaran 6%-6,75% terhadap capital inflow yang masuk ke Sertifikat Bank Indonesia(SBI). Penguatan kurs rupiah juga dinilai bakal berdampak positif terhadap pengendalian inflasi yang cenderung meningkat di tahun ini. Ekonom Senior Standard Chartered Fauzi Ichsan mengatakan, " Penguatan rupiah akan membuat harga barang impor turun. Ini ditujukan untuk meredam inflasi". Dari data yang ada, diketahui laju inflasi tahunan per Februari 2011 mencapai 7,02%. Untuk meredam ekspektasi inflasi ke depan, strategi BI bersama pemerintah dengan cara menaikkan BI rate dari 6,5% menjadi 6,75%.
Bagi para pengusaha lokal, khususnya yang mengandalkan pasar ekspor, penguatan rupiah terhadap dolar As dianggap bukan sebagai kabar baik. Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia mengharapkan pemerintah untuk terus berupaya melakukan intervensi. Penguatan rupiah jangan dibiarkan terjadi begitu saja, apalagi sampai level Rp 8.500,00 per dolar As. Apabila hal itu dibiarkan terjadi begitu saja, tentu akan berdampak buruk terhadap daya saing produk ekspor. Para pengusaha lokal tentu akan mengalami kerugian nilai tukar rupiah terhadap dolar As. Harga barang di Indonesia juga akan mengalami kenaikan, ini mungkin saja akan berkontribusi negatif bagi pertumbuhan ekonomi nasional tahunan Indonesia. Untuk itu, BI bersama pemerintah diharapkan dapat meninjau kembali kebijakan tanpa intervensinya ditengah derasnya arus modal masuk saat ini, dan menyiapkan strategi yang lebih efektif guna menekan laju inflasi, namun juga tetap mengupayakan pertumbuhan ekonomi nasional tahunan Indonesia agar dapat tumbuh positif.
(sumber: harian media indonesia edisi senin 21 februari 2011 dan dari siaran radio pas fm dengan berbagai perubahan)
Ketua Tim Outlook Jangka Pendek dan Diseminasi Kebijakan Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indoneis (BI), Endy Dwi Tjahyono di Padalarang, Jawa Barat, beberapa pekan lalu mengatakan, "Capital Inflow adalah salah satu risiko perekonomian Indonesia". Endy menambahkan BI akan menggunakan instrumen nilai tukar rupiah dibiarkan menguat (hadapi capital inflow). Oleh karena itu, tahun ini BI tidak akan menjaga terus rupiah di level 9.000 an per dolar As. Jika terus dijaga, capital inflow justru akan terus masuk karena imbal hasil yang menarik, mengingat BI harus membayar bunga di kisaran 6%-6,75% terhadap capital inflow yang masuk ke Sertifikat Bank Indonesia(SBI). Penguatan kurs rupiah juga dinilai bakal berdampak positif terhadap pengendalian inflasi yang cenderung meningkat di tahun ini. Ekonom Senior Standard Chartered Fauzi Ichsan mengatakan, " Penguatan rupiah akan membuat harga barang impor turun. Ini ditujukan untuk meredam inflasi". Dari data yang ada, diketahui laju inflasi tahunan per Februari 2011 mencapai 7,02%. Untuk meredam ekspektasi inflasi ke depan, strategi BI bersama pemerintah dengan cara menaikkan BI rate dari 6,5% menjadi 6,75%.
Bagi para pengusaha lokal, khususnya yang mengandalkan pasar ekspor, penguatan rupiah terhadap dolar As dianggap bukan sebagai kabar baik. Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia mengharapkan pemerintah untuk terus berupaya melakukan intervensi. Penguatan rupiah jangan dibiarkan terjadi begitu saja, apalagi sampai level Rp 8.500,00 per dolar As. Apabila hal itu dibiarkan terjadi begitu saja, tentu akan berdampak buruk terhadap daya saing produk ekspor. Para pengusaha lokal tentu akan mengalami kerugian nilai tukar rupiah terhadap dolar As. Harga barang di Indonesia juga akan mengalami kenaikan, ini mungkin saja akan berkontribusi negatif bagi pertumbuhan ekonomi nasional tahunan Indonesia. Untuk itu, BI bersama pemerintah diharapkan dapat meninjau kembali kebijakan tanpa intervensinya ditengah derasnya arus modal masuk saat ini, dan menyiapkan strategi yang lebih efektif guna menekan laju inflasi, namun juga tetap mengupayakan pertumbuhan ekonomi nasional tahunan Indonesia agar dapat tumbuh positif.
(sumber: harian media indonesia edisi senin 21 februari 2011 dan dari siaran radio pas fm dengan berbagai perubahan)
Langganan:
Postingan (Atom)